Sunday, September 19, 2010

TIGA GENERASI

(Giacinta Hanna)

Ketika kutemui mereka, yang terpampang hanya wajah kusut penuh persoalan. Entah apa yang sedang terjadi pada mereka. Entah apa pula yang meresahkan hati keduanya. Ku hanya melihat raut wajah tua yang tidak bahagia. Ya, Tuhan. Aku telah melalaikan mereka sampai-sampai tidak tahu apa yang sedang dialami.


Aku tidak langsung bertanya. Aku pura-pura tidak tahu dan terus bercerita tentang perkembangan cucu-cucu mereka. Hanya itu yang bisa diperbuat dan semoga manjur. 

Perlahan-lahan raut wajah mereka tampak berubah. Sorot mata yang semula hampa mulai bersinar. Kutahu mulai ada kehidupan disana. Bukan lagi anak yang dirindukannya, tapi cucu-cucu. Transfer rasa yang harus aku maklumi karena mampu menjadi obat mujarab bagi mereka.

Kini ku harus menahan diri untuk tidak bercerita tentang kehidupanku. Padahal akupun rindu melepaskan rasa yang seringkali mengganjal. Aku masih ingin diajak bicara seperti dulu. Ah, aku masih ingin bermanja-manja sejenak untuk melupakan setumpuk kewajiban. Aku masih ingin mendengarkan nasehat mereka yang mampu membesarkan hati.

Setelah sekian lama kucari, tak pernah kudapatkan perhatian setulus yang mereka berikan. Perhatian tanpa pamrih dari mereka yang memiliki ikatan darah. Tak bisa kupungkiri, ikatan darah yang sama mengikat hati untuk saling mengisi dengan tulus. Semua tak tergantikan. Tak akan pernah ditemukan ketulusan yang sama dari darah yang berbeda. Tak akan pernah ada !

Hei,….wajah - wajah keriput itu mulai tersenyum riang hanya karena melihat tingkah cucu-cucu yang mulai beranjak dewasa. Aku harus mengalah agar tidak menghancurkan suasana. Kubiarkan mereka saling melepas rindu. Rupanya anak-anakku memiliki rasa yang sama dengan mereka.

Hanya rasa syukur yang bisa kupanjatkan karena masih dapat menyaksikan semuanya. Tiga generasi yang mampu bercengkerama dan bertemu di alam yang sama. Tiga generasi yang menjalin rasa kebersamaan. Rasa bahagia, saling membutuhkan bahkan rasa duka. Tak kan pernah kusia-siakan kesempatan yang hanya dapat kutemui sekali seumur hidupku. Aku sangat mencintai kalian, Ma, Pa. Jangan pernah ada lagi kesedihan dihati kalian. Aku tidak ingin melihatnya. Hatiku merasa sakit melihat itu.


NB :
Mengingatkan diri untuk lebih memprioritaskan orang tua kandung selama masih hidup untuk menjaga hati mereka agar senantiasa merasa bahagia. Hanya ini yang bisa diperbuat untuk membalas ketulusan hati mereka membesarkan kita.