Saturday, February 20, 2010

Ibu Idaman


Oleh : Giacinta Hanna

Tulisan iseng ini muncul ketika aku lebih mementingkan egoku dibandingkan kepentingan orang lain. Tidak ada salahnya jika aku bagikan pemikiran ini. Siapa tahu ada yang pernah mengalami hal yang sama. Siapa tahu bisa diambil manfaatnya bagi kehidupan.

Ibu impianku adalah ibu yang menyediakan waktunya untuk mendengarkan dan welas asih. Memaklumi dan mengerti kesulitan anak-anaknya. Memahami bahwa ada suatu waktu anaknya mengalami masalah yang tidak mampu ditanggungnya sendiri dan bersedia menjadi teman seperjuangan.

Ibu mertua yang kurindukan adalah seorang ibu yang bijak dalam bertutur maupun bersikap, menyayangi menantu layaknya anak sendiri, tidak menuntut terlalu banyak, tidak mengutamakan harta duniawi, tidak suka bergosip tentang keburukan menantu dan tidak terlalu sering mencari perhatian.

Tentunya seorang ibu bahkan ibu mertua memiliki impian tentang anak dan menantu idamannya. Sebaliknya, tentu tidak ada salahnya jika seorang anakpun memiliki impian tersendiri mengenai ibu dan ibu mertua idaman. Itu menurutku. Si pemberotak sejati.

Ada kemungkinan seorang ibu tidak pernah menanyakan bahkan mencari tahu bagaimana sosok ibu yang menjadi impian anak dan menantu. Ada kemungkinan seluruh hidupnya hanya digunakan untuk membentuk anak dan menantu agar sesuai dengan impian dan keinginannya. Lagi-lagi menurut pemikiranku.

Ketika aku sudah menjadi seorang ibu dari kedua anakku, akupun belum pernah mencari tahu bagaimana sosok ibu yang anak-anakku impikan. Padahal setiap hari aku bergaul dan bersenda gurau dengan mereka. Ada kemungkinan aku terlalu menfokuskan pada kepentingan diri sendiri. Hidup di dalam kotak yang berisi obsesi untuk menjadi istri dan ibu yang baik.

Pernah suatu waktu aku bertanya pada anakku, “nak, ibu idamanmu seperti apa sih?”

“Nggak ada, ma. Yang penting baik”.

Ternyata begitu sederhana jawabannya. Dia akan menerima seperti apapun ibunya yang penting baik sama dia. Yah, itu yang anakku impikan tentang seorang ibu. Bukan seorang ibu yang pandai berbisnis, ibu yang pandai memasak, ibu yang cantik sekaligus wanita karir ataupun ibu yang brilian, ‘super mom’, bla…bla…bla.

Mungkin tidak semua anak memiliki pemikiran yang sama seperti diatas. Pemikiran tergantung keadaan dimana dia dibesarkan dan apa yang menyenangkan bahkan menyakiti hati, juga tergantung usia anak. Semakin dewasa seorang anak, semakin berpengalaman dalam hidup, pemikiran mengenai ibu idamanpun akan semakin berkembang. Perkembangan pemikiran akan banyak berubah terutama bagi anak yang banyak mengalami luka batin dan tidak merasa puas ketika dalam perawatan ibunya.

Pemikiran anakku terhadap aku sebagai ibunya jauh berbeda dengan pemikiranku terhadap ibu dan ibu mertuaku. Begitu banyak persyaratan yang aku berikan agar mereka bisa berkenan bagiku. Begitu banyak hal yang harus mereka lakukan untukku. Aku terhenyak. Aku tersadar. Tuntutan itu terlalu berlebihan dan tidak mungkin mereka lakukan. Anak dan menantu seperti apa aku ini? Ow…ow…ow…!

“Ah, ada kemungkinan mereka kurang mampu mengungkapkan rasa cinta dan perhatian yang bisa dipahami seorang anak”, lagi-lagi aku berpikir negatif. Namanya juga ego lagi dominan.

Selang beberapa waktu, kembali aku ingat jawaban anakku. Jawaban itu menyadarkanku akan perkiraanku yang keliru tentang bagaimana menjadi ibu yang baik. Jika begitu, sangat tidak adil jika aku berniat membentuk orang tua sesuai keinginanku, bukan keinginannya. Dan mungkin aku terlalu berlebihan dan kaku dalam menilai. Sebab baik menurutku belum tentu baik menurut para orang tuaku.

Isengku kambuh lagi. Kali ini kepada anak-anakku sambil mencari tahu. Ibu yang baik menurut versi anakku itu seperti apa sih? Untuk mengetahui ini semua tentunya harus melalui pengamatan dan pergaulan sehari-hari dengan anak-anak. Lah,……bagaimana bisa tahu jika sehari-hari tidak bergaul dengan mereka?

Aku ingat sesuatu. Ketika anakku sedang asyik bermain game, aku mengingatkannya agar tidak lupa belajar. Reaksinya hanya bersuara, “hmm…. bentar, Ma.”

Oh rupanya pada saat itu menurutnya aku ini ‘si pengganggu’ yang mengusik keasyikannya bermain. Dan rupanya teguranku kurang tepat waktu. Mungkin dalam pikirannya aku bukanlah ibu yang dia idamkan. Aku hanya ‘si cerewet Jaka Sembung’ yang tidak perlu didengarkan. Jadi aku harus mencari cara agar teguranku ditanggapi dengan baik.

Suatu saat aku melihat anakku ingin sekali minum air es padahal tenggorokannya sangat sensitif. Tentu saja ketika aku melihatnya aku melarang, “ehh….jangan minum air es. Nanti radang tenggorokan.”

“Lah mama curang. Setiap hari aku lihat mama juga minum air es. Kenapa aku nggak boleh?”

Begitu banyak hal yang bisa dipelajari dari percakapan dan sikap sehari-hari seorang anak bahkan orang tua. Begitu banyak ucapan polos seorang anak yang seringkali secara tidak langsung menegur kita sebagai orang tua. Kembali aku ditegur bahwa jika posisiku sebagai orang tua, agar saranku bisa mereka terima dengan baik, aku terlebih dahulu harus memberi contoh yang baik dihadapan mereka.

Dan jika posisiku sebagai anak dan menantu, agar aku bisa diterima dengan baik, pertama-tama harus memiliki pemikiran positif tentang mereka kemudian merubah sikap diri kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Sikap seperti apa ya? Yaitu merubah sikap negatif yang masih ada dalam diri menjadi positif dan selanjutnya raihlah dunia !