Friday, August 8, 2008

Menipu Tidak Pandang Usia

Oleh : Giacinta Hanna

Langkahnya tertatih-tatih mencapai pintu pagar. Perawakan gemuk, wajah bundar, kulit sawo matang dan rambut ikal berbando. Memakai daster lusuh seakan-akan tidak pernah diganti. Hanya suaranya yang keras terdengar bersemangat ketika berbicara.

"Permisi, Bu, saya bukan orang jahat. Saya hanya tukang urut. Boleh saya masuk rumah Ibu? Sebentar aja, Bu. Ada yang ingin saya bicarakan," ujar ibu tua setengah memaksa.

"Ibu ini siapa ya? Tinggal dimana? Ada perlu apa dengan saya?" ujar saya sedikit curiga.

"Saya bukan orang jahat, Bu. Saya tinggal dekat rumah Ibu. Rumah saya di Elok sana," ujarnya lagi.

"Boleh ya saya masuk", lanjutnya setengah memaksa.


Tuntutan hidup, kebutuhan ekonomi yang mendesak, keinginan yang melebihi kemapuan terkadang membuat seseorang menghalalkan segala cara dalam proses mencapai semua itu. Berbagai alasan dikemukakan untuk meyakinkan korban.

Ibu tua itu dengan mulus berhasil masuk rumah dan duduk. Banyak sudah kata-kata manis yang keluar dari mulutnya. Ketika kepalanya mendongak, dia melihat ada salib di dinding dan dia berkata,

"Oh agama Ibu Katolik ya. Saya juga beragama Katolik, Bu. Gereja saya dekat terminal...bla.......bla........bla......... Kita satu iman ya. Begini Bu, saya ini hidup sebatang kara, dua saudara saya sudah meninggal dan tidak punya anak. Saudara saya yang masih hidup sekarang ada di rumah sakit. Saya mau nengokin, mau beliin jeruk engga punya uang. Saya pinjam sama Ibu Rp.50.000 ya. Nanti teman saya, Ibu Neneng mau datang jam 4.00 sore, mau kasih pinjaman Rp.200.000 sama saya. Nah, sore saya balikin uang Ibu. Bener, Bu. Yakin aja Bu. Saya bukan orang jahat," cerocosnya tanpa memberi kesempatan kepada saya untuk berkomentar.

Berdasarkan rasa kasihan dan ingin menolong sesama, akhirnya saya memberikan uang Rp. 30.000 kepada ibu tua itu. Namun terlihat dia tidak mau beranjak juga dari rumah. Bahkan dia berkata,

"Saya yakin sekali Ibu mampu. Saya bukan mau pinjam Rp.30.000,- Bagaimana saya bisa beli Jeruk sekaligus ke Rumah Sakit dengan uang segini? Saya pinjam Rp. 50.000,- Saya akan kembalikan nanti jam 4.00 sore," kembali cerocosnya memenuhi ruangan.

Karena tidak ingin memperpanjang masalah, akhirnya saya kembali memberikan uang Rp. 20.000,- sesuai permintaannya dengan resiko tidak dikembalikan. Yah,.........hitung-hitung beramal di pagi hari.

Akhirnya ibu itu keluar dari rumah saya dengan langkah tertatih-tatih. Dia sangat berterima kasih dan berdoa agar saya diberikan rejeki dua kali lipat. Amin, Bu. Saya sempat berujar,

"Hati-hati di jalan, Bu!"

Sore hari, iseng-iseng saya tunggu ibu itu. Dia tidak datang. Malam hari masih saya tunggu. Tidak datang juga. Pagi hari, saya tetap menunggunya. Dia tidak datang. Janji itu palsu, kata-kata manis itu berisi kebohongan-kebohongan. Saya telah ditipunya.

"Tapi, apakah Ibu itu tidak datang karena ada sesuatu hal yang menimpa dirinya? Sakitkah? Terjatuh di jalankah?" pertanyaan-pertanyaan itu muncul begitu saja dibenak saya. Ada perasaan khawatir terjadi sesuatu terhadap Ibu Nengsih, nama yang dia sebut untuk dirinya. Nengsih bukan Nancy.

Apapun yang sudah dia lakukan terhadap saya, saya tidak merasa dirugikan. Mungkin memang uang sebesar Rp. 50.000 itu bukan hak saya dan harus saya salurkan. Dan ibu itu tempatnya. Saya hanya berharap agar ibu itu selamat dalam hidupnya, tidak ada hal negatif yang memimpanya.

Kalaupun memang dia menipu saya, saya juga berharap agar tidak menambah dosa lagi dengan terus menipu demi mencapai keinginan sesaat. Lebih terhormat hidup sederhana namun dari hasil keringat sendiri daripada hidup berkecukupan dari hasil menipu.

Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosanya dan mengantar kembali ke jalan yang benar.

No comments: