Wednesday, April 22, 2009

Terima kasih, Di !


Oleh : Giacinta Hanna


Didi (20) setiap pukul tujuh pagi mulai bersiap-siap kerja. Diraihnya satu karung plastik besar kosong yang sudah dimodifikasi seperti tas punggung dan besi panjang dengan ujung yang tajam dari gerobak setianya. Tak lupa dipakainya topi berbentuk kerucut untuk melindungi kepalanya dari hujan dan panas.

Dari “tanah merah”, sebuah lapangan bertanah merah tempatnya menetap, dia menelusuri jalan tembus menuju ke perumahan. Dihampirinya bak-bak sampah di setiap rumah. Dikaisnya satu demi satu tumpukan itu untuk mencari plastik-plastik bekas. Pekerjaannya dilakukan dengan tekun sampai sore hari.


Dibalik pakaiannya yang lusuh, Didi dengan tinggi 160 cm tampak tegap dan sehat. Kulitnya kuning langsat dan berwajah polos. Terkadang senyumnya tampak jika ada sesuatu hal yang membuatnya bahagia. Tak ada kesan sedih dalam dirinya karena putus sekolah dan hidup sendiri di perantauan. Semua dia jalani apa adanya agar bisa mendapatkan uang.

Didi adalah anak semata wayang yang berasal dari Purwokerto. Kedua orang tuanya masih menetap disana dan sudah tidak bekerja lagi. Akibat kesulitan ekonomi, ia tidak mampu melanjutkan sekolah dan terpaksa mencari pekerjaan di luar kota

Bukanlah hal yang mudah tanpa bekal ilmu pengetahuan bekerja di kota. Didipun tidak mempunyai kenalan di kota Bekasi, kota yang ditujunya sebagai tempat untuk mencari nafkah. Namun keinginan membantu ekonomi keluarga begitu kuat melekat dibenaknya.

Sambil berjalan perlahan karena letih, Didi bepikir keras. Sampailah ia di tempat penampungan barang-barang bekas dari plastik. Dengan sedikit ragu dihampirinya tempat itu.

“Permisi Pak, darimana barang-barang bekas ini?” ujarnya menanyakan pada seorang pria yang sedang menimbang tumpukan kantong plastik.

“Oh, ini saya beli dari pemulung. Mereka mengirimkannya secara rutin seminggu sekali untuk dijual kesini,” ujar bapak itu ramah.

Dari percakapan itu, Didi menemukan ide untuk mendapatkan uang. Dia akan menjadi pemulung khusus plastik-plastik bekas. Jika plastik-plastik bekas itu sudah terkumpul, dia akan menjualnya di tempat itu.

“Yah, yang penting pekerjaan ini halal, bukannya mencuri,” gumamnya.

Baru satu bulan Didi bekerja sebagai pemulung, namun rejekinya tidak habis-habis. Dalam sehari Didi mampu mengumpulkan 10 – 20 kg plastik. Plastik-plastik itu dijemurnya lagi untuk kemudian dijual seharga Rp. 1400,- per kilonya.
Biasanya ia mengumpulkannya selama satu minggu agar uang yang didapat lebih banyak. Rencananya uang ini nanti akan diberikan kepada kedua orang tua.

Siang itu, seperti biasanya Didi menelusuri bak demi bak. Disalah satu rumah terlihat seorang ibu sedang sibuk mengeluarkan barang-barang bekas. Ada dus, mainan, tas dan plastik. Ibu itu terlihat kebingungan karena baknya tidak cukup untuk menampung semua barang-barang bekas itu.

Mata Didi berbinar-binar dan senyum tampak diwajahnya. Dihampirinya Ibu itu.

“Permisi, Bu. Barang-barang ini sudah tidak dipakai kan? Boleh saya ambil?” ujarnya sopan sambil tersenyum.

“Oh, boleh, boleh. Kebetulan sekali kamu datang. Soalnya bak ini tidak cukup. Masih banyak lagi barang yang akan saya buang.” Kata Ibu itu bersemangat karena merasa terbantu dengan kehadiran Didi.

Didi si anak rantau boleh putus sekolah. Didi boleh saja memiliki pengetahuan terbatas. Didi boleh tidak paham apa itu Global Warming. Didi hanya ingin mencari nafkah untuk menyambung hidup.

Dibalik niatnya yang sederhana, tersimpan jasa yang begitu besar untuk memperbaiki lingkungan. Secara tidak langsung Didi membantu mengurangi jumlah sampah yang sampai di Tempat Penampungan Akhir.

Terima kasih, Di !


No comments: